Kamis, 23 Februari 2012

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 69 TAHUN 2001 TENTANG KEPELABUHANAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA



PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 69 TAHUN 2001
TENTANG
KEPELABUHANAN

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang :
  1. bahwa dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah, Pemerintah Daerah diberikan peran dalam penyelenggaraan kepelabuhanan;
  2. bahwa pengaturan mengenai penyelenggaraan kepelabuhan perlu untuk ditata dan diatur kembali agar sejalan dengan otonomi daerah;
  3. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, dipandang perlu mengganti Peraturan Pemerintah Nomor 70 Tahun 1996 tentang Kepelabuhanan;
Mengingat :
  1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 sebagaimana telah diubah dengan Perubahan Kedua Undang-Undang Dasar 1945;
  2. Undang-undang Nomor 21 Tahun 1992 tentang Pelayaran (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 98, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3493);
  3. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 13, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3587);
  4. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3839);
  5. Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 72, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3848);
  6. Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 1998 tentang Perusahaan Perseroan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 15, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3731) jo. Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 1998 tentang Perusahaan Perseroan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4101);
  7. Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonom (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 54, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3952);

MEMUTUSKAN :
Menetapkan : 

PERATURAN PEMERINTAH TENTANG KEPELABUHANAN.


BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1
Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan :
  1. Pelabuhan adalah tempat yang terdiri dari daratan dan perairan di sekitarnya dengan batas-batas tertentu sebagai tempat kegiatan pemerintahan dan kegiatan ekonomi yang dipergunakan sebagai tempat kapal bersandar, berlabuh, naik turun penumpang dan/atau bongkar muat barang yang dilengkapi dengan fasilitas keselamatan pelayaran dan kegiatan penunjang pelabuhan serta sebagai tempat perpindahan intra dan antar moda transportasi;
  2. Kepelabuhanan meliputi segala sesuatu yang berkaitan dengan kegiatan penyelenggaraan pelabuhan dan kegiatan lainnya dalam melaksanakan fungsi pelabuhan untuk menunjang kelancaran, keamanan dan ketertiban arus lalu lintas kapal, penumpang dan/atau barang, keselamatan berlayar, tempat perpindahan intra dan/atau antar moda serta mendorong perekonomian nasional dan daerah;
  3. Pelabuhan Umum adalah pelabuhan yang diselenggarakan untuk kepentingan pelayanan masyarakat umum;
  4. Pelabuhan Daratan adalah suatu tempat tertentu di daratan dengan batas-batas yang jelas, dilengkapi dengan fasilitas bongkar muat, lapangan penumpukan dan gudang serta prasarana dan sarana angkutan barang dengan cara pengemasan khusus dan berfungsi sebagai pelabuhan umum;
  5. Pelabuhan Khusus adalah pelabuhan yang dikelola untuk kepentingan sendiri guna menunjang kegiatan tertentu;
  6. Keselamatan Pelayaran adalah suatu keadaan terpenuhinya persyaratan keselamatan yang menyangkut angkutan di perairan dan kepelabuhanan;
  7. Penyelenggara Pelabuhan Umum adalah unit pelaksana teknis/ satuan kerja pelabuhan atau Badan Usaha Pelabuhan;
  8. Pengelola Pelabuhan Khusus adalah Pemerintah, Pemerintah Propinsi, Pemerintah Kabupaten/Kota atau Badan Hukum Indonesia yang memiliki izin untuk mengelola pelabuhan khusus;
  9. Unit Pelaksana Teknis/Satuan Kerja Pelabuhan adalah unit organisasi Pemerintah, Pemerintah Propinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota;
  10. Badan Usaha Pelabuhan (BUP) adalah Badan Usaha Milik Negara atau Badan Usaha Milik Daerah yang khusus didirikan untuk mengusahakan jasa kepelabuhanan di pelabuhan umum;
  11. Badan Hukum Indonesia adalah badan usaha yang dimiliki oleh negara dan/atau daerah dan/ atau swasta dan/atau koperasi;
  12. Daerah Lingkungan Kerja Pelabuhan adalah wilayah perairan dan daratan pada pelabuhan umum yang dipergunakan secara langsung untuk kegiatan kepelabuhanan;
  13. Daerah Lingkungan Kepentingan Pelabuhan adalah wilayah perairan di sekeliling daerah lingkungan kerja perairan pelabuhan umum yang dipergunakan untuk menjamin keselamatan pelayaran;
  14. Tatanan Kepelabuhanan Nasional adalah suatu sistem kepela-buhanan nasional yang memuat tentang hirarki, peran, fungsi, klasifikasi, jenis, penyelenggaraan, kegiatan, keterpaduan intra dan antar moda serta keterpaduan dengan sektor lainnya;
  15. Pemerintah adalah Pemerintah Pusat;
  16. Menteri adalah Menteri yang bertanggung jawab di bidang pelayaran;
  17. Gubernur adalah Kepala Daerah Propinsi sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan mengenai Otonomi Daerah;
  18. Bupati adalah Kepala Daerah Kabupaten sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan mengenai Otonomi Daerah;
  19. Walikota adalah Kepala Daerah Kota sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan mengenai Otonomi Daerah.

BAB II
TATANAN KEPELABUHANAN NASIONAL

Pasal 2
(1) Pelabuhan sebagai salah satu unsur dalam penyelenggaraan pelayaran, merupakan tempat untuk menyelenggarakan pelayanan jasa kepelabuhanan, pelaksanaan kegiatan pemerintahan dan kegiatan ekonomi lainnya, ditata secara terpadu guna mewujudkan penyediaan jasa kepelabuhan sesuai dengan tingkat kebutuhan.
(2) Pelabuhan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditata dalam satu kesatuan tatanan kepelabuhan nasional guna mewujudkan penyelenggaraan pelabuhan yang handal, dan berkemampuan tinggi, menjamin efisiensi nasional dan mempunyai daya saing global dalam rangka menunjang pembangunan nasional dan daerah.
(3) Tatanan Kepelabuhanan Nasional sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) ditetapkan oleh Menteri.

Pasal 3
(1) Penyusunan Tatanan Kepelabuhanan Nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) dilakukan dengan memperhatikan :
a. tata ruang wilayah;
b. sistem transportasi nasional;
c. pertumbuhan ekonomi;
d. pola/jalur pelayanan angkutan laut nasional dan internasional;
e. kelestarian lingkungan;
f. keselamatan pelayaran; dan
g. standarisasi nasional, kriteria dan norma.
(2) Tatanan Kepelabuhanan Nasional sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) sekurang-kurangnya memuat kegiatan, peran dan fungsi, klasifikasi, dan jenis pelabuhan.

Pasal 4
(1) Pelabuhan menurut kegiatannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) terdiri dari pelabuhan yang melayani kegiatan :
  1. angkutan laut yang selanjutnya disebut pelabuhan laut;
  2. angkutan sungai dan danau yang selanjutnya disebut pelabuhan sungai dan danau;
  3. angkutan penyeberangan yang selanjutnya disebut pelabuhan penyeberangan.
(2) Pelabuhan menurut perannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) merupakan :
  1. simpul dalam jaringan transportasi sesuai dengan hirarkinya;
  2. pintu gerbang kegiatan perekonomian daerah, nasional dan internasional;
  3. tempat kegiatan alih moda transportasi;
  4. penunjang kegiatan industri dan perdagangan;
  5. tempat distribusi, konsolidasi dan produksi.
(3) Pelabuhan menurut fungsinya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2), diarahkan pada pelayanan :
  1. kegiatan pemerintahan;
  2. kegiatan jasa kepelabuhanan;
  3. kegiatan jasa kawasan;
  4. kegiatan penunjang kepelabuhanan.
(4) Pelabuhan menurut klasifikasinya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) ditetapkan dengan memperhatikan :
  1. fasilitas pelabuhan;
  2. operasional pelabuhan;
  3. peran dan fungsi pelabuhan.
(5) Pelabuhan menurut jenisnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) terdiri dari :
  1. pelabuhan umum yang digunakan untuk melayani kepentingan umum;
  2. pelabuhan khusus yang digunakan untuk kepentingan sendiri guna menunjang kegiatan tertentu.
Pasal 5
(1) Hirarki peran dan fungsi pelabuhan laut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf a, terdiri dari:
  1. pelabuhan internasional hub merupakan pelabuhan utama primer;
  2. pelabuhan internasional merupakan pelabuhan utama sekunder;
  3. pelabuhan nasional merupakan pelabuhan utama tersier;
  4. pelabuhan regional merupakan pelabuhan pengumpan primer;
  5. pelabuhan lokal merupakan pelabuhan pengumpan sekunder.
(2) Hirarki peran dan fungsi pelabuhan penyeberangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf c, terdiri dari :
  1. pelabuhan penyeberangan lintas Propinsi dan antar Negara;
  2. pelabuhan penyeberangan lintas Kabupaten/Kota;
  3. pelabuhan penyeberangan lintas dalam Kabupaten/Kota.
(3) Hirarki peran dan fungsi pelabuhan khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (5) huruf b terdiri dari :
  1. pelabuhan khusus nasional/internasional;
  2. pelabuhan khusus regional;
  3. pelabuhan khusus lokal.
Pasal 6
(1) Pelabuhan internasional hub yang merupakan pelabuhan utama primer sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf a ditetapkan dengan memperhatikan :
  1. kedekatan dengan pasar internasional;
  2. kedekatan dengan jalur pelayaran internasional;
  3. kedekatan dengan jalur Alur Laut Kepulauan Indonesia;
  4. berperan sebagai tempat alih muat penumpang dan barang internasional;
  5. memiliki jarak tertentu dengan pelabuhan internasional hub lainnya;
  6. memiliki kondisi teknis pelabuhan yang terlindung dari gelombang dengan luas daratan dan perairan tertentu;
  7. volume kegiatan bongkar muat.
(2) Pelabuhan internasional yang merupakan pelabuhan utama sekunder sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf b ditetapkan dengan memperhatikan :
  1. kedekatan dengan jalur pelayaran nasional dan internasional;
  2. sebagai tempat alih muat penumpang dan barang nasional;
  3. mempunyai jarak tertentu dengan pelabuhan internasional lainnya;
  4. memiliki kondisi teknis pelabuhan yang terlindung dari gelombang dengan luas daratan dan perairan tertentu;
  5. volume kegiatan bongkar muat.
(3) Pelabuhan nasional yang merupakan pelabuhan utama tersier sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf c ditetapkan dengan memperhatikan :
  1. kebijakan Pemerintah yang meliputi pemerataan pembangun-an nasional dan meningkatkan pertumbuhan wilayah;
  2. sebagai tempat alih muat penumpang dan barang nasional dan bisa menangani semi kontainer;
  3. mempunyai jarak tertentu dengan pelabuhan nasional lainnya;
  4. mempunyai jarak tertentu terhadap jalur/rute lintas pelayaran nasional;
  5. memiliki kondisi teknis pelabuhan yang terlindung dari gelombang dengan luas daratan dan perairan tertentu;
  6. kedekatan dengan jalur/lalu lintas pelayaran antar pulau;
  7. berada (dekat) dengan pusat pertumbuhan wilayah ibu kota Kabupaten/Kota dan kawasan pertumbuhan nasional;
  8. volume kegiatan bongkar muat.
(4) Pelabuhan regional yang merupakan pelabuhan pengumpan primer sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf d ditetapkan dengan memperhatikan :
  1. kebijakan Pemerintah yang menunjang pusat pertumbuhan ekonomi;
  2. propinsi dan pemerataan pembangunan antar propinsi;
  3. berfungsi sebagai tempat pelayanan penumpang dan barang inter Kabupaten/Kota;
  4. memiliki jarak tertentu dengan pelabuhan regional lainnya;
  5. memiliki kondisi teknis pelabuhan yang terlindung dari gelombang dengan luas daratan dan perairan tertentu;
  6. volume kegiatan bongkar muat.
(5) Pelabuhan lokal yang merupakan pelabuhan pengumpan sekunder sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf e ditetapkan dengan memperhatikan:
  1. kebijakan Pemerintah untuk menunjang pusat pertumbuhan ekonomi;
  2. Kabupaten/Kota dan pemerataan serta meningkatkan pem-bangunan Kabupaten/Kota;
  3. berfungsi untuk melayani penumpang dan barang antar Kecamatan dalam Kabupaten/Kota terhadap kebutuhan moda transportasi laut dan/atau perairan;
  4. memiliki kondisi teknis pelabuhan yang terlindung dari gelombang dengan luas daratan dan perairan tertentu;
  5. volume kegiatan bongkar muat.
Pasal 7
(1) Pelabuhan penyeberangan lintas Propinsi dan antar Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) huruf a ditetapkan dengan memperhatikan fungsi jalan yang dihubungkannya yaitu jalan nasional dan jalan antar Negara.
(2) Pelabuhan penyeberangan lintas Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) huruf b ditetapkan dengan memperhatikan fungsi jalan yang dihubungkannya yaitu jalan Propinsi.
(3) Pelabuhan penyeberangan lintas dalam Kabupaten/Kota sebagai-mana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) huruf c ditetapkan dengan memperhatikan fungsi jalan yang dihubungkannya yaitu jalan Kabupaten/Kota.

Pasal 8
(1) Pelabuhan khusus nasional/internasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3) huruf a ditetapkan dengan kriteria :
  1. bobot kapal 3000 DWT atau lebih;
  2. panjang dermaga 70 M' atau lebih;
  3. kedalaman di depan dermaga - 5 M LWS atau lebih;
  4. menangani pelayanan barang-barang berbahaya dan beracun (B3);
  5. melayani kegiatan pelayanan lintas Propinsi dan Internasional.
(2) Pelabuhan khusus regional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3) huruf b ditetapkan dengan kriteria :
  1. bobot kapal lebih dari 1000 DWT dan kurang dari 3000 DWT;
  2. panjang dermaga kurang dari 70 M', konstruksi beton/baja;
  3. kedalaman di depan dermaga kurang dari - 5 M LWS;
  4. tidak menangani pelayanan barang-barang berbahaya dan beracun (B3);
  5. melayani kegiatan pelayanan lintas Kabupaten/Kota dalam satu propinsi.
(3) Pelabuhan khusus lokal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3) huruf c ditetapkan dengan kriteria :
  1. bobot kapal kurang dari 1000 DWT;
  2. panjang dermaga kurang dari 50 M' dengan konstruksi kayu;
  3. kedalaman di depan dermaga kurang dari - 4 M LWS;
  4. tidak menangani pelayanan barang berbahaya dan beracun (B3);
  5. melayani kegiatan pelayanan lintas dalam satu Kabupaten/Kota.
Pasal 9
(1) Pelabuhan umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (5) huruf a, diselenggarakan oleh :
  1. Pemerintah yang pelaksanaannya dapat dilimpahkan kepada Badan Usaha Milik Negara;
  2. Pemerintah Propinsi dan Kabupaten/Kota yang pelaksanaan-nya dapat dilimpahkan kepada Badan Usaha Milik Daerah.
(2) Pelabuhan khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (5) huruf b, diselenggarakan oleh Pemerintah, Pemerintah Propinsi, Pemerintah Kabupaten/Kota, dan Badan Hukum Indonesia.
(3) Pelabuhan khusus merupakan pelabuhan yang dikelola untuk menunjang kegiatan tertentu yang ditetapkan dengan memperhatikan:
  1. kebijakan pemerintah untuk menunjang perekonomian;
  2. berfungsi untuk melayani angkutan bahan baku, hasil produksi, dan peralatan penunjang produksi sendiri;
  3. memiliki jarak tertentu dengan pelabuhan umum;
  4. memiliki kondisi teknis pelabuhan yang terlindung dari gelombang dengan luas daerah daratan dan perairan tertentu.
(4) Pelabuhan umum dan pelabuhan khusus menurut penggunaan-nya dibedakan atas :
  1. pelabuhan yang terbuka untuk perdagangan luar negeri;
  2. pelabuhan yang tidak terbuka untuk perdagangan luar negeri.
Pasal 10
Ketentuan lebih lanjut mengenai kegiatan, peran dan fungsi, klasifikasi, jenis dan hirarki pelabuhan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 dan Pasal 5 diatur dengan Keputusan Menteri.

Pasal 11
(1) Menteri melakukan pembinaan kepelabuhanan yang meliputi aspek pengaturan, pengawasan dan pengendalian terhadap kegiatan pembangunan, pendayagunaan dan pengembangan pelabuhan guna mewujudkan Tatanan Kepelabuhanan Nasional.
(2) Kegiatan pengaturan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi kegiatan penetapan kebijakan di bidang kepelabuhanan.
(3) Kegiatan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi :
  1. pemantauan dan penilaian terhadap kegiatan pembangunan, operasional dan pengembangan pelabuhan; dan
  2. tindakan korektif terhadap pelaksanaan kegiatan pembangun-an, operasional dan pengembangan pelabuhan.
(4) Kegiatan pengendalian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi :
  1. pemberian arahan dan petunjuk dalam melaksanakan pembangunan, operasional dan pengembangan pelabuhan; dan
  2. pemberian bimbingan dan penyuluhan kepada masyarakat mengenai hak dan kewajiban masyarakat pengguna jasa kepelabuhanan.
(5) Untuk kelancaran pelaksanaan pembinaan kepelabuhanan oleh Menteri sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dapat meminta Gubernur untuk melakukan koordinasi terhadap pengelolaan pelabuhan dan beberapa kewenangan yang diserahkan kepada Bupati/Walikota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 18 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 21 ayat (2) dan ayat (5), Pasal 25 ayat (3) dan ayat (4), Pasal 26, Pasal 28 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 29 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 36 ayat (1), Pasal 44 ayat (3), Pasal 45, Pasal 50 ayat (1), Pasal 53 ayat (1), Pasal 54 ayat (1), Pasal 58 ayat (1), Pasal 60 ayat (1), dan Pasal 65 ayat (2).


BAB III
PENETAPAN LOKASI PELABUHAN, RENCANA INDUK PELABUHAN,
DAERAH LINGKUNGAN KERJA DAN DAERAH LINGKUNGAN
KEPENTINGAN PELABUHAN

Bagian Pertama
Penetapan Lokasi Pelabuhan

Pasal 12
(1) Lokasi untuk penyelenggaraan pelabuhan ditetapkan oleh Menteri berdasarkan pada Tatanan Kepelabuhanan Nasional, setelah mendapat rekomendasi dari Pemerintah Propinsi, Pemerintah Kabupaten/Kota sesuai kewenangannya terhadap keterpaduan dengan Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi dan Kabupaten/Kota.
(2) Lokasi pelabuhan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan berdasarkan koordinat geografis.
(3) Dalam penetapan lokasi pelabuhan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), wajib memperhatikan aspek-aspek :
  1. Tatanan Kepelabuhanan Nasional;
  2. Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota dan Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi;
  3. kelayakan teknis;
  4. kelayakan ekonomi;
  5. pertumbuhan ekonomi dan perkembangan sosial;
  6. kelayakan lingkungan;
  7. keterpaduan intra dan antar moda;
  8. adanya aksesibilitas terhadap hinterland;
  9. keamanan dan keselamatan pelayaran; dan
  10. pertahanan dan keamanan negara.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pedoman penetapan lokasi pelabuhan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Keputusan Menteri.

Bagian Kedua
Rencana Induk Pelabuhan

Pasal 13
(1) Untuk kepentingan penyelenggaraan pelabuhan umum, Penyelenggara Pelabuhan wajib menyusun rencana induk pelabuhan pada lokasi yang telah ditetapkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1).
(2) Rencana induk pelabuhan disusun dengan memperhatikan :
  1. Tatanan Kepelabuhanan Nasional;
  2. Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota dan Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi;
  3. keamanan dan keselamatan pelayaran;
  4. keserasian dan keseimbangan dengan kegiatan lain terkait di lokasi pelabuhan;
  5. kelayakan teknis, ekonomis dan lingkungan; dan
  6. perizinan terkait yang telah diperoleh.
(3) Rencana induk pelabuhan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), meliputi :
  1. rencana peruntukan lahan; dan
  2. rencana peruntukan perairan.
(4) Rencana peruntukan lahan dan perairan pelabuhan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) untuk menentukan kebutuhan penempatan fasilitas dan kegiatan operasional pelabuhan meliputi :
  1. kegiatan jasa kepelabuhanan;
  2. kegiatan pemerintahan;
  3. kegiatan jasa kawasan;
  4. kegiatan penunjang kepelabuhanan.
(5) Rencana peruntukan lahan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) huruf a, untuk penyediaan kegiatan :
1) fasilitas pokok, antara lain :
a) dermaga;
b) gudang lini 1;
c) lapangan penumpukan lini 1;
d) terminal penumpang;
e) terminal peti kemas;
f) terminal ro-ro;
g) fasilitas penampungan dan pengolahan limbah;
h) fasilitas bunker;
i) fasilitas pemadam kebakaran;
j) fasilitas gudang untuk bahan/barang berbahaya dan beracun (B3);
k) fasilitas pemeliharaan dan perbaikan peralatan dan Sarana Bantu      Navigasi Pelayaran (SBNP).
2) fasilitas penunjang, antara lain :
a) kawasan perkantoran;
b) fasilitas pos dan telekomunikasi;
c) fasilitas pariwisata dan perhotelan;
d) instalasi air bersih, listrik dan telekomunikasi;
e) jaringan jalan dan rel kereta api;
f) jaringan air limbah, drainase dan sampah;
g) areal pengembangan pelabuhan;
h) tempat tunggu kendaraan bermotor;
i) kawasan perdagangan;
j) kawasan industri;
k) fasilitas umum lainnya (peribadatan, taman, tempat rekreasi,            olahraga, jalur hijau dan kesehatan).
(6) Rencana peruntukan perairan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) huruf b, untuk penyediaan kegiatan :
1) fasilitas pokok, antara lain :
a) alur pelayaran;
b) perairan tempat labuh;
c) kolam pelabuhan untuk kebutuhan sandar dan olah gerak kapal;
d) perairan tempat alih muat kapal;
e) perairan untuk kapal yang mengangkut bahan/barang berbahaya;
f) perairan untuk kegiatan karantina;
g) perairan alur penghubung intra pelabuhan;
h) perairan pandu;
i) perairan untuk kapal pemerintah.
2) fasilitas penunjang , antara lain:
a) perairan untuk pengembangan pelabuhan jangka panjang;
b) perairan untuk fasilitas pembangunan dan pemeliharaan kapal;
c) perairan tempat uji coba kapal (percobaan berlayar);
d) perairan tempat kapal mati;
e) perairan untuk keperluan darurat;
f) perairan untuk kegiatan rekreasi (wisata air).

Pasal 14
(1) Penyelenggara pelabuhan mengusulkan penetapan rencana induk pelabuhan kepada Menteri, Gubernur, Bupati/Walikota sesuai dengan kewenangannya.
(2) Rencana induk pelabuhan untuk pelabuhan laut ditetapkan sebagai berikut :
  1. pelabuhan internasional hub, internasional, nasional ditetapkan oleh Menteri setelah mendapat rekomendasi dari Gubernur dan Bupati/Walikota;
  2. pelabuhan regional ditetapkan oleh Gubernur setelah mendapat rekomendasi dari Bupati/Walikota;
  3. pelabuhan lokal ditetapkan oleh Bupati/Walikota.
(3) Rencana induk pelabuhan untuk pelabuhan penyeberangan ditetapkan sebagai berikut:
  1. pelabuhan penyeberangan lintas propinsi dan antar negara ditetapkan oleh Menteri setelah mendapat rekomendasi dari Gubernur dan Bupati/Walikota;
  2. pelabuhan penyeberangan lintas Kabupaten/Kota ditetapkan oleh Gubernur setelah mendapat rekomendasi dari Bupati/ Walikota;
  3. pelabuhan penyeberangan lintas dalam Kabupaten/Kota ditetapkan oleh Bupati/Walikota.
(4) Rencana induk pelabuhan menjadi dasar yang mengikat dalam menetapkan kebijakan untuk melaksanakan kegiatan pembangunan, operasional dan pengembangan pelabuhan sesuai dengan peran dan fungsinya.

Pasal 15
(1) Dalam melakukan penetapan rencana induk pelabuhan sebagai-mana dimaksud dalam Pasal 14, Menteri, Gubernur, Bupati/ Walikota melakukan penelitian terhadap aspek :
a. Tatanan Kepelabuhanan Nasional;
b. keamanan dan keselamatan pelayaran;
c. rencana tata guna tanah dan perairan;
d. rencana kegiatan operasional pelabuhan jangka pendek, menengah dan panjang; dan
e. kelayakan teknis, ekonomis dan lingkungan.
(2) Jangka waktu perencanaan di dalam rencana induk pelabuhan meliputi :
  1. jangka panjang yaitu di atas 15 (lima belas) tahun sampai dengan 25 (dua puluh lima) tahun;
  2. jangka menengah yaitu di atas 10 (sepuluh) tahun sampai dengan 15 (lima belas) tahun;
  3. jangka pendek yaitu 5 (lima) tahun sampai dengan 10 (sepuluh) tahun.
(3) Penyelenggara Pelabuhan wajib melakukan kaji ulang selambat-lambatnya setiap 5 tahun sekali terhadap rencana induk pelabuhan jangka menengah dan jangka panjang, dan apabila ada perubahan akan ditetapkan kembali oleh Menteri, Gubernur dan Bupati/Walikota sesuai kewenangannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2) dan ayat (3).
Bagian Ketiga
Daerah Lingkungan Kerja dan Daerah
Lingkungan Kepentingan Pelabuhan

Pasal 16
(1) Untuk kepentingan penyelenggaraan pelabuhan umum, ditetapkan batas-batas daerah lingkungan kerja dan daerah lingkungan kepentingan pelabuhan berdasarkan rencana induk pelabuhan yang telah ditetapkan.
(2) Batas-batas daerah lingkungan kerja dan daerah lingkungan kepentingan pelabuhan umum ditetapkan dengan koordinat geografis untuk menjamin kegiatan kepelabuhanan.
(3) Daerah lingkungan kerja pelabuhan umum, terdiri dari :
  1. daerah lingkungan kerja daratan yang digunakan untuk kegiatan fasilitas pokok dan fasilitas penunjang;
  2. daerah lingkungan kerja perairan yang digunakan untuk kegiatan alur pelayaran, perairan tempat labuh, perairan untuk tempat alih muat antar kapal, kolam pelabuhan untuk kebutuhan sandar dan olah gerak kapal, kegiatan pemanduan, tempat perbaikan kapal dan lain-lain.
(4) Daerah lingkungan kepentingan pelabuhan umum merupakan perairan pelabuhan di luar daerah lingkungan kerja perairan yang digunakan untuk alur pelayaran dari dan ke pelabuhan, keperluan keadaan darurat, pengembangan pelabuhan jangka panjang, penempatan kapal mati, percobaan berlayar, kegiatan pemanduan, fasilitas pembangunan dan pemeliharaan kapal.

Pasal 17
(1) Penyelenggara Pelabuhan mengusulkan penetapan daerah lingkungan kerja dan daerah lingkungan kepentingan pelabuhan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 kepada Menteri, Gubernur, Bupati/Walikota sesuai kewenangannya.
(2) Menteri, Gubernur, Bupati/Walikota melakukan penelitian atas usulan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) terhadap :
  1. peta usulan rencana daerah lingkungan kerja dan daerah lingkungan kepentingan pelabuhan yang dilengkapi dengan titik-titik koordinat di atas peta topografi dan peta laut;
  2. kajian mengenai aspek keamanan dan keselamatan pelayaran; dan
  3. kajian mengenai aspek lingkungan.

Pasal 18
(1) Penetapan daerah lingkungan kerja dan daerah lingkungan kepentingan pelabuhan laut adalah sebagai berikut :
  1. Menteri menetapkan daerah lingkungan kerja dan daerah lingkungan kepentingan pelabuhan internasional hub, internasional, nasional setelah mendapat rekomendasi dari Gubernur dan Bupati/Walikota;
  2. Gubernur menetapkan daerah lingkungan kerja dan daerah lingkungan kepentingan pelabuhan regional setelah mendapat rekomendasi dari Bupati/Walikota;
  3. Bupati/Walikota menetapkan daerah lingkungan kerja dan daerah lingkungan kepentingan pelabuhan lokal.
(2) Penetapan daerah lingkungan kerja dan daerah lingkungan kepentingan pelabuhan penyeberangan adalah sebagai berikut :
  1. Menteri menetapkan daerah lingkungan kerja dan daerah lingkungan kepentingan pelabuhan penyeberangan lintas Propinsi dan antar Negara setelah mendapat rekomendasi dari Gubernur dan Bupati/Walikota;
  2. Gubernur menetapkan daerah lingkungan kerja dan daerah lingkungan kepentingan pelabuhan penyeberangan lintas Kabupaten/Kota setelah mendapat rekomendasi dari Bupati/ Walikota;
  3. Bupati/Walikota menetapkan daerah lingkungan kerja dan daerah lingkungan kepentingan pelabuhan penyeberangan lintas dalam Kabupaten/Kota.
(3) Daerah lingkungan kerja dan daerah lingkungan kepentingan pelabuhan umum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) yang telah ditetapkan, menjadi dasar dalam melaksanakan kegiatan kepelabuhanan.

Pasal 19
Penyelenggara pelabuhan umum diberikan hak atas tanah dan perairan untuk kegiatan kepelabuhanan sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 20
(1) Di dalam daerah lingkungan kerja pelabuhan umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (3), Penyelenggara Pelabuhan mempunyai kewajiban :
a. di daerah lingkungan kerja daratan pelabuhan :
1) memasang tanda batas sesuai dengan batas-batas daerah lingkungan kerja daratan yang telah ditetapkan;
2) memasang papan pengumuman yang memuat informasi mengenai batas-batas daerah lingkungan kerja daratan pelabuhan;
3) melaksanakan pengamanan terhadap asset yang dimiliki;
4) menyelesaikan sertifikat hak atas tanah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
5) menjaga kelestarian lingkungan.
b. di daerah lingkungan kerja perairan pelabuhan :
1) memasang tanda batas sesuai dengan batas-batas daerah lingkungan kerja perairan yang telah ditetapkan;
2) menginformasikan mengenai batas-batas daerah lingkungan kerja perairan pelabuhan kepada pelaku kegiatan kepelabuhanan;
3) menyediakan sarana bantu navigasi pelayaran;
4) menyediakan dan memelihara kolam pelabuhan dan alur pelayaran;
5) memelihara kelestarian lingkungan;
6) melaksanakan pengamanan terhadap asset yang dimiliki berupa fasilitas pelabuhan di perairan.
(2) Di dalam daerah lingkungan kepentingan pelabuhan umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (4), Pemerintah, Pemerintah Propinsi, Pemerintah Kabupaten/Kota sesuai kewenangannya berkewajiban :
  1. menyediakan sarana bantu navigasi pelayaran;
  2. menjamin keamanan dan ketertiban;
  3. menyediakan dan memelihara alur pelayaran;
  4. memelihara kelestarian lingkungan; dan
  5. melaksanakan pengawasan dan pengendalian terhadap penggunaan daerah pantai.

Pasal 21
(1) Kegiatan membuat bangunan fasilitas di sisi air di daerah lingkungan kerja dan daerah lingkungan kepentingan pelabuhan hanya dapat dilakukan setelah mendapat izin dari Menteri.
(2) Kegiatan pengerukan dan reklamasi di dalam daerah lingkungan kerja pelabuhan dan daerah lingkungan kepentingan pelabuhan hanya dapat dilakukan setelah mendapat izin dari Menteri, Gubernur, dan Bupati/Walikota sesuai dengan kewenangannya.
(3) Izin reklamasi di dalam daerah lingkungan kerja dan daerah lingkungan kepentingan pelabuhan internasional hub, inter-nasional dan nasional ditetapkan oleh Menteri setelah mendapat rekomendasi dari Bupati/Walikota setempat mengenai kesesuaian dengan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota.
(4) Kegiatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) harus memperhatikan :
  1. keselamatan pelayaran;
  2. Tatanan Kepelabuhanan Nasional;
  3. Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota;
  4. rencana induk pelabuhan; dan
  5. kelestarian lingkungan.
(5) Izin mendirikan bangunan fasilitas lain selain fasilitas di sisi air sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) di daerah lingkungan kerja pelabuhan diberikan oleh Bupati/Walikota sesuai dengan ketentuan yang berlaku dan setelah memperhatikan pertimbang-an teknis dari penyelenggara pelabuhan.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai kegiatan pengerukan dan reklamasi di daerah lingkungan kerja pelabuhan dan di daerah lingkungan kepentingan pelabuhan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diatur dengan Keputusan Menteri.

Pasal 22
Daratan hasil reklamasi, urukan dan tanah timbul di daerah lingkungan kerja pelabuhan dimohonkan hak atas tanahnya oleh penyelenggara pelabuhan sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.

BAB IV
PEMBANGUNAN DAN PENGOPERASIAN
PELABUHAN
UMUM

Pasal 23
Pembangunan dan pengoperasian pelabuhan umum, wajib ber-pedoman pada :
  1. rencana induk pelabuhan;
  2. standar disain bangunan, alur, kolam dan peralatan pelabuhan;
  3. standar kehandalan fasilitas dan peralatan pelabuhan;
  4. standar pelayanan operasional pelabuhan;
  5. keselamatan pelayaran; dan
  6. kelestarian lingkungan.

Pasal 24
Rencana induk pelabuhan, standar disain bangunan, alur, kolam dan peralatan pelabuhan, standar kehandalan fasilitas dan peralatan pelabuhan, standar pelayanan operasional pelabuhan, keselamatan pelayaran, dan kelestarian lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ditetapkan oleh Menteri.

Pasal 25
(1) Pembangunan pelabuhan umum dilaksanakan setelah memenuhi persyaratan :
  1. administrasi;
  2. bukti penguasaan tanah dan perairan;
  3. memiliki penetapan lokasi pelabuhan;
  4. memiliki rencana induk pelabuhan;
  5. disain teknis pelabuhan meliputi kondisi tanah, konstruksi, kondisi      hidrooseanografi, topografi, penempatan dan konstruksi sarana     bantu navigasi, alur pelayaran dan kolam pelabuhan serta tata letak dan kapasitas peralatan di pelabuhan;
(2) studi kelayakan yang sekurang-kurangnya memuat :
1) kelayakan teknis yang meliputi :
  1. hasil survei pelabuhan yang meliputi kondisi hidro-oceanografi dan kondisi geoteknik;
  2. hasil studi keselamatan pelayaran meliputi jumlah, ukuran dan frekuensi lalulintas kapal, rencana penempatan sarana bantu navigasi pelayaran, alur pelayaran, dan kolam pelabuhan serta perairan pandu;
2) kelayakan ekonomis dan atau finansial;
3) kelayakan/kajian lingkungan.
4) pertimbangan teknis dari Menteri yang bertanggung jawab di bidang pengairan, untuk pembangunan pelabuhan sungai dan danau.
(3) Dalam hal persyaratan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dipenuhi, ditetapkan Keputusan Pelaksanaan Pembangunan.
(4) Penetapan Keputusan Pelaksanaan Pembangunan sebagaimana dimaksud ayat (2) untuk pelabuhan laut diberikan oleh :
  1. Menteri untuk pelabuhan internasional hub, internasional dan nasional;
  2. Gubernur untuk pelabuhan regional;
  3. Bupati/Walikota untuk pelabuhan lokal.
(5) Penetapan Keputusan Pelaksanaan Pembangunan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) untuk pelabuhan penyeberangan diberikan oleh :
  1. Menteri untuk Pelabuhan Penyeberangan Lintas Propinsi dan antar Negara;
  2. Gubernur untuk Pelabuhan Penyeberangan Lintas Kabupaten/ Kota;
  3. Bupati/Walikota untuk Pelabuhan Penyeberangan Lintas dalam Kabupaten/Kota.
(6) Pembangunan pelabuhan dilaksanakan berdasarkan pedoman teknis pembangunan pelabuhan yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri.

Pasal 26
Pemerintah, Pemerintah Propinsi, dan/atau Pemerintah Kabupaten/ Kota dapat membangun pelabuhan umum baru berdasarkan kepada Tatanan Kepelabuhan Nasional dan memenuhi ketentuan yang diatur dalam Peraturan Pemerintah ini.

Pasal 27
Penyelenggara pelabuhan umum dalam melaksanakan pembangunan pelabuhan diwajibkan :
  1. mentaati peraturan perundang-undangan dan ketentuan di bidang kepelabuhanan, lalu lintas angkutan di perairan, keselamatan berlayar dan kelestarian lingkungan;
  2. mentaati peraturan perundang-undangan dari instansi Pemerintah lainnya;
  3. bertanggung jawab terhadap dampak yang timbul selama pelaksanaan pembangunan pelabuhan umum yang bersangkutan;
  1. melaksanakan pekerjaan pembangunan pelabuhan umum selambat-lambatnya 1 (satu) tahun sejak Keputusan Pelaksanaan Pembangunan ditetapkan;
  2. melaksanakan pekerjaan pembangunan pelabuhan umum sesuai dengan Rencana Induk Pelabuhan yang telah ditetapkan;
  3. melaporkan kegiatan pembangunan pelabuhan umum secara berkala kepada Menteri, Gubernur, Bupati/Walikota sesuai kewenangannya.

Pasal 28
(1) Pengoperasian pelabuhan umum dilakukan setelah memenuhi persyaratan :
  1. pembangunan pelabuhan telah selesai dilaksanakan sesuai dengan persyaratan pembangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25;
  2. keamanan, ketertiban, dan keselamatan pelayaran;
  3. tersedia fasilitas untuk menjamin kelancaran arus penumpang dan barang;
  4. pengelolaan lingkungan;
  5. tersedia pelaksana kegiatan kepelabuhanan;
  6. memiliki sistem dan prosedur pelayanan; dan
  7. tersedianya sumber daya manusia di bidang teknis pengoperasian pelabuhan yang memiliki kualifikasi dan sertifikasi yang diatur dengan Keputusan Menteri.
  8. Dalam hal persyaratan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dipenuhi, ditetapkan Keputusan Pelaksanaan Pengoperasian Pelabuhan.
(2) Penetapan Keputusan Pelaksanaan Pengoperasian sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) untuk pelabuhan laut, diberikan oleh :
  1. Menteri untuk pelabuhan internasional hub, internasional, nasional;
  2. Gubernur untuk pelabuhan regional;
  3. Bupati/Walikota untuk pelabuhan lokal.
(3) Penetapan Keputusan Pelaksanaan Pengoperasian sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) untuk pelabuhan penyeberangan, diberikan oleh :
  1. Menteri untuk Pelabuhan Penyeberangan Lintas Propinsi dan antar Negara;
  2. Gubernur untuk Pelabuhan Penyeberangan Lintas Kabupaten/ Kota;
  3. Bupati/Walikota untuk Pelabuhan Penyeberangan lintas dalam Kabupaten/Kota.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pedoman pengoperasian pelabuhan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Keputusan Menteri.

Pasal 29
(1) Pelabuhan Umum dapat ditingkatkan kemampuan pengoperasi-annya menjadi 24 (dua puluh empat) jam dengan memperhatikan tingkat tersedianya fasilitas keselamatan pelayaran, kepelabuhan-an dan lalu lintas angkutan laut.
(2) Atas usul Penyelenggara Pelabuhan laut dapat ditetapkan pelayanan operasional 24 jam oleh :
  1. Menteri atau pejabat yang ditunjuk untuk pelabuhan internasional hub, internasional dan nasional;
  2. Gubernur untuk pelabuhan regional;
  3. Bupati/Walikota untuk pelabuhan lokal.
(3) Atas usul Penyelenggara Pelabuhan penyeberangan dapat ditetapkan pelayanan operasional 24 jam oleh :
  1. Menteri atau pejabat yang ditunjuk untuk Pelabuhan Penyeberangan Lintas Propinsi dan antar Negara;
  2. Gubernur untuk Pelabuhan Penyeberangan Lintas Kabupaten/ Kota;
  3. Bupati/Walikota untuk Pelabuhan Penyeberangan Lintas dalam Kabupaten/Kota.
(4) Penetapan pedoman operasional pelabuhan 24 jam sebagaimana dimaksud dalam Ayat (1) diatur dengan Keputusan Menteri.

Pasal 30
(1) Persyaratan penetapan operasional pelabuhan 24 jam meliputi :
  1. kondisi alur meliputi kedalaman, pasang surut, sarana bantu navigasi pelayaran;
  2. kesiapan pelayanan pemanduan;
  3. kesiapan fasilitas pelabuhan;
  4. kesiapan gudang di luar pelabuhan;
  5. keamanan dan ketertiban;
  6. kesiapan sumber daya manusia operasional dan tenaga kerja bongkar muat;
  7. kesiapan sarana transportasi darat; dan
  8. rekomendasi dari pejabat pelaksana fungsi keselamatan pelayaran.
(2) Persyaratan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b, huruf d dan huruf f, tidak berlaku bagi pelabuhan penyeberangan.

Pasal 31
(1) Pelabuhan laut dapat ditingkatkan kemampuan pengoperasian fasilitas pelabuhan dari fasilitas untuk melayani barang umum menjadi fasilitas pelabuhan untuk melayani angkutan peti kemas dan angkutan curah cair maupun curah kering setelah memenuhi persyaratan.
(2) Penetapan kemampuan fasilitas pelabuhan dari fasilitas untuk melayani barang konvensional menjadi fasilitas pelabuhan untuk melayani angkutan peti kemas maupun angkutan curah cair dan kering ditetapkan oleh Menteri atas usul Penyelenggara Pelabuhan laut.
(3) Persyaratan yang harus dipenuhi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah sebagai berikut:
  1. fasilitas untuk melayani angkutan peti kemas, adalah:
1) memiliki sistem dan prosedur pelayanan;
2) memiliki sumber daya manusia dengan jumlah dan kualitas yang memadai;
3) kesiapan fasilitas tambat permanen untuk kapal generasi pertama;
4) tersedianya peralatan penanganan bongkar muat peti kemas yang terpasang dan yang bergerak;
5) lapangan penumpukan dan gudang khusus peti kemas;
6) keandalan sistem operasi menggunakan jaringan informasi on line baik internal maupun eksternal.
  1. fasilitas untuk melayani angkutan curah cair maupun curah kering, adalah:
1) kesiapan fasilitas tambat permanen sesuai dengan jenis kapal;
2) tersedianya peralatan penanganan bongkar muat curah;
3) kehandalan sistem operasi menggunakan jaringan informasi on  line baik internal maupun eksternal;
4) memiliki sistem dan prosedur pelayanan;
5) memiliki sumber daya manusia dengan jumlah dan kualitas yang memadai.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan proses peningkatan kemampuan pengoperasian fasilitas pelabuhan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan ayat (3) diatur dengan Keputusan Menteri.

Pasal 32
Penyelenggara Pelabuhan umum yang telah mendapatkan izin operasi diwajibkan:
  1. mentaati peraturan perundang-undangan dan ketentuan di bidang pelayaran serta kelestarian lingkungan;
  2. mentaati peraturan perundang-undangan dari instansi Pemerintah lainnya;
  3. bertanggung jawab sepenuhnya atas pengoperasian pelabuhan umum yang bersangkutan; dan
  4. melaporkan kegiatan operasional setiap bulan kepada Menteri, Gubernur, Bupati/Walikota sesuai kewenangannya.
BAB V
PELAKSANAAN KEGIATAN
DI PELABUHAN UMUM

Pasal 33
(1) Pelaksana kegiatan di pelabuhan umum terdiri dari instansi Pemerintah, Penyelenggara Pelabuhan dan Badan Hukum Indonesia yang memberikan pelayanan jasa di pelabuhan yang berkaitan dengan kelancaran arus lalu lintas kapal, penumpang dan barang.
(2) Instansi Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) merupakan pemegang fungsi :
  1. keselamatan pelayaran;
  2. bea dan cukai;
  3. imigrasi;
  4. karantina;
  5. keamanan dan ketertiban.
(3) Penyelenggara Pelabuhan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) merupakan :
  1. Unit pelaksana teknis/satuan kerja pelabuhan di pelabuhan umum yang diselenggarakan oleh Pemerintah, Pemerintah Propinsi, Pemerintah Kabupaten/Kota;
  2. Unit pelaksana dari Badan Usaha Pelabuhan di pelabuhan umum yang diselenggarakan oleh Badan Usaha Pelabuhan.
(4) Badan Hukum Indonesia sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) merupakan Badan Hukum Indonesia yang melaksanakan kegiatan di pelabuhan.

Pasal 34
(1) Instansi Pemerintah di pelabuhan terdiri dari :
  1. pelaksana fungsi keselamatan pelayaran, melakukan:
1) penilikan kegiatan lalu lintas kapal yang masuk dan keluar pelabuhan;
2) penilikan terhadap pemenuhan persyaratan kelaiklautan kapal;
3) penilikan pemanduan dan penundaan kapal serta penyediaan dan pemeliharaan alur pelayaran;
4) pencegahan dan penanggulangan pencemaran perairan pelabuhan;
5) pengamanan dan penertiban dalam daerah lingkungan kerja dan dalam daerah lingkungan kepentingan pelabuh-an guna menjamin kelancaran operasional pelabuhan;
6) penilikan terhadap pembangunan/pengembangan dan pengoperasian pelabuhan.
(2) pelaksana fungsi bea dan cukai, melakukan pengawasan dan pengamanan terhadap pelaksanaan peraturan perundang-undangan kepabeanan serta peraturan perundang-undangan lain yang dibebankan kepadanya;
(3) pelaksana fungsi imigrasi, melakukan penilikan atas lalu lintas orang dari dan atau ke luar negeri yang berkaitan dengan keimigrasian;
(4) pelaksana fungsi karantina, melakukan penilikan atas orang, tumbuh-tumbuhan, hewan dan ikan yang berkaitan dengan kekarantinaan.
(5) Pelaksanaan fungsi keamanan dan ketertiban umum di pelabuhan, dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 35
(1) Pelaksanaan fungsi keselamatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1) huruf a pada pelabuhan yang penyelenggaraan-nya diserahkan kepada Pemerintah Propinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota tetap dilaksanakan oleh Pemerintah.
(2) Pelaksanaan fungsi keselamatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1) huruf a pada pelabuhan baru yang dibangun oleh Pemerintah, Pemerintah Propinsi dan Pemerintah Kabupaten/ Kota dilaksanakan oleh Pemerintah.

Pasal 36
(1) Pelaksana kegiatan pemerintahan dan pelayanan jasa kepelabuhanan dikoordinasikan oleh Pejabat pemegang fungsi koordinasi yang ditunjuk oleh Menteri, Gubernur dan Bupati/ Walikota sesuai dengan kewenangannya.
(2) Pejabat pemegang fungsi koordinasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) mempunyai tugas dan wewenang sebagai berikut :
(3) mengkoordinasikan kegiatan instansi Pemerintah terkait dan kegiatan pelayanan jasa kepelabuhanan, guna menjamin kelancaran tugas operasional di pelabuhan;
(4) menyelesaikan masalah-masalah yang dapat mengganggu kelancaran kegiatan operasional pelabuhan yang tidak dapat diselesaikan oleh instansi Pemerintah, Badan Usaha Pelabuhan dan unit kerja terkait lainnya.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai koordinasi pelaksanaan kegiatan di pelabuhan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Keputusan Menteri.


BAB VI
PELAYANAN JASA KEPELABUHANAN
DI PELABUHAN UMUM

Pasal 37
(1) Pelayanan jasa kepelabuhanan di pelabuhan umum dilaksanakan oleh:
  1. Unit Pelaksana Teknis/Satuan Kerja Pelabuhan di pelabuhan umum yang diselenggarakan oleh Pemerintah, Pemerintah Propinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota;
  2. Unit Pelaksana dari Badan Usaha Pelabuhan di pelabuhan umum yang diselenggarakan oleh Badan Usaha Pelabuhan.
Pasal 38
(1) Pelayanan jasa kepelabuhanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 meliputi :
  1. penyediaan kolam pelabuhan dan perairan untuk lalu lintas kapal dan tempat berlabuh;
  2. pelayanan jasa-jasa yang berhubungan dengan pemanduan kapal-kapal (pilotage) dan pemberian jasa penundaan kapal laut;
  3. penyediaan dan pelayanan jasa dermaga untuk bertambat, bongkar muat barang dan hewan serta penyediaan fasilitas naik turun penumpang dan kendaraan;
  4. penyediaan dan pelayanan jasa gudang dan tempat penimbunan barang, angkutan di perairan pelabuhan, alat bongkar muat serta peralatan pelabuhan;
  5. penyediaan tanah untuk berbagai bangunan dan lapangan sehubungan dengan kepentingan kelancaran angkutan laut dan industri;
  6. penyediaan jaringan jalan dan jembatan, tempat tunggu kendaraan, saluran pembuangan air, instalasi listrik, instalasi air minum, depo bahan bakar dan pemadam kebakaran;
  7. penyediaan jasa terminal peti kemas, curah cair, curah kering, dan Ro-Ro;
  8. penyediaan jasa lainnya yang dapat menunjang pelayanan jasa kepelabuhanan.
  9. Pelayanan jasa kepelabuhanan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) merupakan usaha pokok pelabuhan yang dimaksudkan untuk:
  10. kelancaran perpindahan intra dan/atau antar moda transpor-tasi;
  11. pusat kegiatan pelayanan; dan
  12. pusat distribusi dan konsolidasi barang.
  13. Penyediaan dan pelayanan jasa dermaga sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf c dapat dilakukan secara khusus untuk kepentingan sendiri guna menunjang kegiatan tertentu atas dasar kerja sama dengan Penyelenggara Pelabuhan umum dengan prinsip saling menguntungkan.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pedoman penyediaan dan pelayanan jasa dermaga sebagaimana dimaksud dalam ayat (3), ditetapkan dengan Keputusan Menteri.

Pasal 39
(1) Pelayanan jasa kepelabuhanan di pelabuhan umum yang dilakukan oleh Unit Pelaksana Teknis/Satuan Kerja Pelabuhan dapat dilimpahkan kepada Badan Usaha Pelabuhan.
(2) Pelimpahan pelayanan jasa kepelabuhanan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan setelah memenuhi kriteria yang meliputi :
  1. aspek keuangan;
  2. aspek operasional;
  3. aspek fasilitas.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelimpahan jasa kepelabuhanan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diatur dengan Keputusan Menteri.

Pasal 40
(1) Pelayanan jasa kepelabuhanan di pelabuhan perikanan sebagai prasarana perikanan diatur dan ditetapkan oleh Menteri yang bertanggung jawab di bidang perikanan.
(2) Pelayanan jasa kepelabuhanan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dalam aspek keselamatan pelayaran diberlakukan ketentuan dalam Peraturan Pemerintah ini.

BAB VII
USAHA KEGIATAN
PENUNJANG PELABUHAN

Pasal 41
(1) Dalam rangka menunjang kelancaran pelayanan jasa kepelabuhanan di pelabuhan umum dapat diselenggarakan usaha kegiatan penunjang pelabuhan.
(2) Usaha kegiatan penunjang pelabuhan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) terdiri dari :
  1. kegiatan yang tidak termasuk usaha pokok pelabuhan, dapat meliputi :
1) kegiatan penyediaan perkantoran untuk kepentingan pengguna jasa pelabuhan;
2) kegiatan penyediaan kawasan industri;
3) kegiatan penyediaan kawasan perdagangan.
  1. kegiatan yang menunjang kelancaran operasional pelabuhan, yang dalam keadaan tertentu akan mempengaruhi kelancaran operasional pelabuhan apabila tidak ada, dapat meliputi :
1) penyediaan fasilitas penampungan limbah;
2) penyediaan depo peti kemas;
3) penyediaan pergudangan.
  1. kegiatan yang dapat membantu kelancaran pelabuhan dan tidak akan mengganggu kelancaran operasional pelabuhan, apabila tidak ada, dapat meliputi :
1) kegiatan angkutan umum dari dan ke pelabuhan;
2) kegiatan perhotelan, restoran, pariwisata, pos, dan telekomunikasi;
3) penyediaan sarana umum lainnya.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai usaha kegiatan penunjang pelabuhan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Keputusan Menteri.

Pasal 42
(1) Usaha kegiatan penunjang pelabuhan dapat dilaksanakan oleh :
(2) Unit Pelaksana Teknis/Satuan Kerja Pelabuhan Pemerintah, Pemerintah Propinsi, Pemerintah Kabupaten/Kota atau Badan Usaha Pelabuhan;
(3) Badan Hukum Indonesia atau perorangan setelah dipertimbangkan oleh Unit Pelaksana Teknis Pelabuhan Pemerintah, Pemerintah Propinsi, Pemerintah Kabupaten/Kota atau Badan Usaha Pelabuhan.

Pasal 43
(1) Pelaksana usaha kegiatan penunjang pelabuhan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 diwajibkan :
(2) menjaga ketertiban dan kebersihan wilayah pelabuhan yang dipergunakan;
(3) menghindari terjadinya gangguan keamanan dan hal lain yang dapat mengganggu kelancaran kegiatan operasional pelabuhan; dan
(4) menjaga kelestarian lingkungan.

BAB VIII
PELABUHAN DARATAN
Pasal 44
(1) Pelabuhan daratan merupakan suatu tempat tertentu di daratan yang berfungsi sebagai pelabuhan umum.
(2) Menteri menetapkan lokasi pelabuhan daratan.
(3) Menteri, Gubernur, Bupati/Walikota menetapkan pembangunan dan pengoperasian pelabuhan daratan sesuai dengan kewenangan pada pelabuhan induknya.
(4) Penetapan lokasi pelabuhan daratan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) ditetapkan dengan memperhatikan :
(5) tersedia jalur yang menghubungkan ke pelabuhan laut yang terbuka untuk perdagangan luar negeri;
(6) berada di daerah yang mememiliki potensi di bidang produksi dan perdagangan yang telah dikembangkan; dan
(7) rencana tata tuang wilayah yang bersangkutan.
(8) Pembangunan dan pengoperasian pelabuhan daratan sebagai-mana dimaksud dalam ayat (3) harus memenuhi persyaratan :
  1. memiliki izin penetapan lokasi ;
  2. menguasai tanah dengan luas tertentu sebagai daerah lingkungan kerja; dan
  3. memiliki prasarana dan sarana sehingga dapat berfungsi sebagai pelabuhan daratan.
  1. Terhadap pelabuhan daratan diberlakukan ketentuan-ketentuan yang berlaku bagi pelabuhan umum untuk tata laksana dan ketentuan umum ekspor impor barang.
Pasal 45
Pelayanan jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (1) di pelabuhan daratan dilakukan oleh :
  1. Unit pelaksana teknis pelabuhan daratan Pemerintah, Pemerintah Propinsi, Pemerintah Kabupaten/Kota; atau
  2. Unit pelaksana dari Badan Usaha Pelabuhan.

BAB IX
KERJA SAMA

Pasal 46
(1) Dalam pelaksanaan pelayanan jasa kepelabuhanan, Badan Usaha Pelabuhan dapat mengikutsertakan Pemerintah Propinsi, Pemerintah Kabupaten/Kota dan Badan Hukum Indonesia lainnya melalui kerja sama.
(2) Kerja sama Badan Usaha Pelabuhan dengan Pemerintah Propinsi, Pemerintah Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan secara menyeluruh dan bersifat nasional.
(3) Dalam melaksanakan kerja sama dengan Badan Usaha Pelabuhan, Pemerintah Propinsi, Pemerintah Kabupaten/Kota, membentuk Badan Usaha Milik Daerah yang khusus didirikan untuk mengusahakan jasa kepelabuhanan.
(4) Dalam melaksanakan kerja sama sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) Badan Usaha Pelabuhan harus memperhatikan kepentingan umum dan prinsip saling menguntungkan.
(5) Mekanisme kerja sama sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), diatur lebih lanjut dengan keputusan Menteri.
Pasal 47
(1) Kerja sama dalam penyelenggaraan pelabuhan umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 dapat dilakukan untuk :
  1. pembangunan kolam pelabuhan dan perairan untuk lalu lintas kapal dan tempat berlabuh;
  2. penyediaan dan pelayanan jasa dermaga untuk bertambat, bongkar muat barang dan hewan serta penyediaan fasilitas naik turun penumpang;
  3. pelayanan jasa-jasa yang berhubungan dengan pemberian jasa penundaan kapal laut;
  4. penyediaan dan pelayanan jasa gudang dan tempat penimbunan barang, angkutan di perairan pelabuhan, alat bongkar muat serta peralatan pelabuhan;
  5. penyediaan berbagai bangunan dan lapangan di atas tanah dalam daerah lingkungan kerja pelabuhan untuk kepentingan kelancaran pelayanan jasa kepelabuhanan;
  6. penyediaan jaringan jalan dan jembatan, tempat tunggu kendaraan, saluran pembuangan air, instalasi listrik, instalasi air minum, depo bahan bakar, penyediaan penampungan limbah di pelabuhan;
  7. penyediaan jasa terminal peti kemas, curah cair, curah kering dan Ro-Ro;
  8. penyediaan jasa lainnya yang dapat menunjang pelayanan jasa kepelabuhanan.
(2) Kerja sama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat dilaksanakan untuk satu jenis jasa atau lebih sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.

BAB X
TARIF PELAYANAN JASA KEPELABUHANAN

Pasal 48
Tarif pelayanan jasa kepelabuhanan ditetapkan berdasarkan pada jenis, struktur dan golongan tarif serta dengan memperhatikan :
  1. kepentingan pelayanan umum;
  2. peningkatan mutu pelayanan jasa kepelabuhanan;
  3. kepentingan pengguna jasa;
  4. peningkatan kelancaran pelayanan jasa;
  5. pengembalian biaya; dan
  6. pengembangan usaha.
Pasal 49
(1) enis tarif pelayanan jasa kepelabuhanan terdiri dari :
  1. pelayanan jasa kapal;
  2. pelayanan jasa barang;
  3. pelayanan jasa penumpang;
  4. pelayanan jasa alat;
  5. pelayanan jasa kepelabuhanan lainnya.
(2) Struktur tarif pelayanan jasa kepelabuhanan merupakan kerangka tarif dikaitkan dengan tatanan waktu dan satuan ukuran dari setiap jenis pelayanan jasa kepelabuhanan atau kelompok dari beberapa jenis pelayanan jasa kepelabuhanan dalam satu paket pungutan.
(3) Golongan tarif pelayanan jasa kepelabuhanan merupakan penggolongan tarif yang ditetapkan berdasarkan jenis pelayanan jasa kepelabuhanan, klasifikasi, dan fasilitas yang tersedia di pelabuhan.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis, struktur dan golongan tarif pelayanan jasa kepelabuhanan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) ditetapkan dengan Keputusan Menteri.

Pasal 50
(1) Besaran tarif jasa kepelabuhanan pada pelabuhan umum yang diselenggarakan oleh Pemerintah ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah dan yang diselenggarakan oleh Pemerintah Propinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota ditetapkan dengan Peraturan Daerah.
(2) Besaran tarif jasa kepelabuhanan pada pelabuhan umum yang diselenggarakan oleh Badan Usaha Pelabuhan ditetapkan oleh Badan Usaha Pelabuhan setelah dikonsultasikan dengan Menteri.

BAB XI
PELABUHAN KHUSUS

Pasal 51
(1) Lokasi pelabuhan khusus merupakan satu kesatuan dengan Tatanan Kepelabuhanan Nasional.
(2) Penetapan lokasi pelabuhan khusus ditetapkan oleh Menteri setelah mendapat rekomendasi dari Gubernur dan Bupati/ Walikota.
(3) Pengelolaan pelabuhan khusus dapat dilakukan oleh Pemerintah, Pemerintah Propinsi, Pemerintah Kabupaten/Kota atau Badan Hukum Indonesia untuk kepentingan sendiri guna menunjang kegiatan tertentu.
(4) Pengelolaan pelabuhan khusus sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat dilakukan dalam hal :
  1. pelabuhan umum yang ada tidak dapat melayani jasa kepelabuhanan untuk kegiatan tertentu karena keterbatasan kemampuan fasilitas yang tersedia;
  2. berdasarkan pertimbangan ekonomis dan teknis operasional, akan lebih efektif dan efisien serta lebih menjamin keselamat-an pelayaran apabila membangun dan mengoperasikan pelabuhan khusus.

Pasal 52
(1) Pelabuhan khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1), berada di luar daerah lingkungan kerja dan daerah lingkungan kepentingan pelabuhan umum yang merupakan satu kesatuan Tatanan Kepelabuhanan Nasional.
(2) Wilayah pelabuhan khusus meliputi daratan dan perairan, atau perairan.
(3) Penggunaan wilayah daratan pada pelabuhan khusus dilaksana-kan oleh Pengelola Pelabuhan khusus sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(4) Penggunaan wilayah perairan untuk kepentingan pengelolaan pelabuhan khusus dilakukan dengan memperhatikan :
  1. alur pelayaran dan perlintasan kapal;
  2. olah gerak kapal;
  3. keperluan darurat;
  4. tempat labuh kapal;
  5. kelestarian lingkungan; dan
  6. aspek pertahanan dan keamanan.
(4) Pengelola Pelabuhan khusus wajib menyediakan dan memelihara Sarana Bantu Navigasi Pelayaran, alur pelayaran, kolam pelabuhan dan fasilitas yang diperlukan untuk kelancaran arus lalu lintas kapal dan barang serta tugas pemerintahan di pelabuhan khusus.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai penggunaan wilayah perairan untuk pelabuhan khusus dan kewajiban pengelola pelabuhan khusus sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) dan ayat (5) diatur dengan Keputusan Menteri.

Pasal 53
(1) Kegiatan pengerukan dan reklamasi di wilayah perairan pe-labuhan khusus dilakukan setelah mendapat izin dari Menteri, Gubernur, Bupati/Walikota sesuai dengan kewenangannya.
(2) Daratan hasil reklamasi di dalam perairan pelabuhan khusus dapat dimohonkan hak atas tanahnya oleh pengelola pelabuhan khusus sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 54
(1) Pembangunan pelabuhan khusus harus berdasarkan izin yang diberikan oleh :
  1. Menteri untuk pelabuhan khusus nasional/internasional;
  2. Gubernur untuk pelabuhan khusus regional;
  3. Bupati/Walikota untuk pelabuhan khusus lokal.
(2) Pembangunan pelabuhan khusus dilakukan setelah memenuhi persyaratan :
  1. administrasi yang terdiri dari :
1) akte pendirian perusahaan;
2) Nomor Pokok Wajib Pajak;
3) izin usaha pokok dari instansi terkait;
4) akte/sertifikat penguasaan tanah;
5) proposal rencana kegiatan;
6) memiliki penetapan lokasi pelabuhan khusus;
7) rekomendasi dari pejabat pelaksana fungsi keselamatan pelayaran.
  1. teknis yang terdiri dari :
1) rencana induk pelabuhan;
2) tata letak dermaga;
3) gambar konstruksi bangunan pokok (denah, tampak, dan potongan);
4) gambar hidrografi, topografi, dan ringkasan laporan hasil survei mengenai pasang surut dan arus;
5) hasil survei kondisi tanah;
6) hasil kajian keselamatan perlayaran termasuk alur pelayaran dan kolam pelabuhan;
7) batas-batas wilayah daratan dan perairan dilengkapi titik-titik koordinat geografis;
8) kelayakan/kajian lingkungan.
(3) Penetapan atau penolakan pelaksanaan pembangunan pelabuhan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberikan dalam jangka waktu selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari kerja sejak permohonan diterima secara lengkap.
(4) Penolakan permohonan penetapan pelaksanaan pembangunan pelabuhan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disampaikan secara tertulis disertai alasan penolakan.
Pasal 55
Pembangunan dan pengoperasian pelabuhan khusus, wajib berpedoman pada :
  1. rencana induk pelabuhan;
  2. standar disain bangunan, alur, kolam dan peralatan pelabuhan;
  3. standar kehandalan fasilitas dan peralatan pelabuhan;
  4. standar pelayanan operasional pelabuhan;
  5. keselamatan pelayaran; dan
  6. kelestarian lingkungan.
Pasal 56
Rencana induk pelabuhan, standar disain bangunan, alur, kolam dan peralatan pelabuhan, standar kehandalan fasilitas dan peralatan pelabuhan, standar pelayanan operasional pelabuhan, keselamatan pelayaran dan kelestarian lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ditetapkan oleh Menteri.

Pasal 57
(1) Dalam melaksanakan pembangunan pelabuhan khusus diwajibkan :
(2) mentaati peraturan perundang-undangan dan ketentuan di bidang kepelabuhanan, lalu lintas angkutan di perairan, keselamatan berlayar dan pengelolaan lingkungan;
(3) mentaati peraturan perundang-undangan dari instansi Pemerintah lainnya yang berkaitan dengan usaha pokoknya;
(4) bertanggung jawab terhadap dampak yang timbul selama pelaksanaan pembangunan pelabuhan khusus yang bersangkutan;
(5) melaksanakan pekerjaan pembangunan selambat-lambatnya 1 (satu) tahun sejak izin pembangunan diterbitkan;
(6) melaksanakan pekerjaan pembangunan pelabuhan khusus sesuai dengan jadwal yang ditetapkan; dan
(7) melaporkan kegiatan pembangunan pelabuhan khusus secara berkala kepada Menteri, Gubernur, Bupati/Walikota.

Pasal 58
(1) Pengoperasian pelabuhan khusus harus berdasarkan izin yang diberikan oleh :
  1. Menteri untuk pelabuhan khusus nasional/internasional;
  2. Gubernur untuk pelabuhan khusus regional;
  3. Bupati/Walikota untuk pelabuhan khusus lokal.
  4. Izin operasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berlaku selama pengelola pelabuhan khusus masih menjalankan usaha pokoknya.
(2) Pengoperasian pelabuhan khusus dilakukan setelah memenuhi persyaratan:
  1. pembangunan pelabuhan khusus telah selesai dilaksanakan sesuai dengan persyaratan pembangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 ayat 2;
  2. keamanan, ketertiban, dan keselamatan pelayaran;
  3. pengelolaan lingkungan;
  4. memiliki sistem dan prosedur pelayanan; dan
  5. tersedianya sumber daya manusia di bidang teknis pengoperasian pelabuhan yang memiliki kualifikasi dan sertifikasi yang diatur dengan Keputusan Menteri.

Pasal 59
Pengelola Pelabuhan khusus yang telah mendapatkan izin operasi diwajibkan :
  1. mentaati peraturan perundang-undangan dan ketentuan di bidang pelayaran serta kelestarian lingkungan;
  1. mentaati peraturan perundang-undangan dari instansi Pemerintah lainnya yang berkaitan dengan usaha pokoknya;
  2. bertanggung jawab sepenuhnya atas pengoperasian pelabuhan khusus yang bersangkutan; dan
  3. melaporkan kegiatan operasional setiap bulan kepada pemberi izin.

Pasal 60
(1) Dilarang menggunakan pelabuhan khusus untuk kepentingan umum, kecuali dalam keadaan tertentu dengan izin Menteri, Gubernur, Bupati/Walikota sesuai kewenangannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 ayat (1) dan Pasal 58 ayat (1).
(2) Keadaan tertentu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat berupa :
  1. dalam hal pelabuhan umum tidak dapat melayani permintaan jasa kepelabuhanan oleh karena keterbatasan kemampuan fasilitas yang tersedia;
  2. terjadi bencana alam atau peristiwa alam lainnya sehingga mengakibatkan tidak berfungsinya pelabuhan umum; atau
  3. pada daerah yang bersangkutan tidak terdapat pelabuhan umum dan belum tersedia moda transportasi lain yang memadai.
(3) Izin penggunaan pelabuhan khusus sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat diberikan apabila fasilitas yang terdapat di pelabuhan tersebut dapat menjamin keselamatan pelayaran dan pelaksanaan pelayanan jasa kepelabuhanan dilaksanakan melalui kerja sama dengan pelabuhan umum terdekat.
(4) Penggunaan pelabuhan khusus untuk kepentingan umum hanya bersifat sementara, dan apabila pelabuhan umum telah dapat berfungsi untuk melayani kepentingan umum, izin penggunaan pelabuhan khusus untuk kepentingan umum dicabut.

Pasal 61
(1) Dalam hal pelabuhan khusus digunakan selain untuk kegiatan tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 ayat (2) atau digunakan untuk kepentingan umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 ayat (4), diberlakukan ketentuan tarif jasa pada pelabuhan umum sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(2) Pungutan tarif jasa kepelabuhanan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan oleh Penyelenggara Pelabuhan umum terdekat bekerja sama dengan pengelola pelabuhan khusus.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pungutan tarif jasa kepelabuhanan dan tata caranya diatur dengan Keputusan Menteri.
Pasal 62
(1) Izin operasi pelabuhan khusus dapat dialihkan kepada pihak lain bersamaan dengan usaha pokoknya.
(2) Pengalihan izin operasi pelabuhan khusus sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib dilaporkan kepada Menteri, Gubernur, Bupati/Walikota sesuai kewenangannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 ayat (1) dan Pasal 58 ayat (1).
(3) Dalam hal usaha pokok tidak lagi dilaksanakan oleh pengelola pelabuhan khusus, Pengelola Pelabuhan khusus wajib melaporkan selambat-lambatnya 3 (tiga) bulan setelah tidak melaksanakan usaha pokoknya kepada Menteri, Gubernur, dan Bupati/ Walikota sesuai dengan kewenangannya.

Pasal 63
(1) Izin pembangunan pelabuhan khusus dicabut apabila pemegang izin :
  1. tidak melaksanakan pekerjaan pembangunan dalam jangka waktu 1 (satu) tahun setelah izin pembangunan pelabuhan khusus diberikan;
  2. tidak dapat melanjutkan pekerjaan pembangunan pelabuhan khusus;
  3. melanggar kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57.
(2) Izin operasi pelabuhan khusus dicabut apabila pemegang izin :
  1. melanggar kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59, Pasal 62 ayat (2) dan ayat (3);
  2. menggunakan pelabuhan khusus untuk kepentingan umum tidak berdasarkan izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 ayat (1).
(3) Pencabutan izin pembangunan dan izin operasi pelabuhan khusus sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) dilakukan melalui proses peringatan tertulis sebanyak 3 (tiga) kali berturut-turut dengan tenggang waktu masing-masing 1(satu) bulan.
(4) Apabila telah dilakukan peringatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) pemegang izin pelabuhan khusus tidak melakukan usaha perbaikan atas peringatan yang telah diberikan, maka izin pembangunan dan izin operasi pelabuhan khusus dicabut.

Pasal 64
Izin pembangunan dan izin operasi pelabuhan khusus dicabut tanpa melalui proses peringatan, apabila Pengelola Pelabuhan khusus yang bersangkutan :
  1. melakukan kegiatan yang membahayakan keamanan Negara; atau
  2. memperoleh izin pembangunan pelabuhan khusus dengan cara tidak sah.
Pasal 65
(1) Pelabuhan khusus dapat ditingkatkan kemampuan pengoperasiannya menjadi 24 (dua puluh empat) jam dengan memperhatikan tingkat tersedianya fasilitas keselamatan pelayaran, kepelabuhanan dan lalu lintas angkutan laut.
(2) Atas usul Pengelola Pelabuhan khusus dapat ditetapkan pelayanan operasional 24 (dua puluh empat) jam oleh :
  1. Menteri atau pejabat yang ditunjuk untuk pelabuhan khusus nasional/internasional;
  2. Gubernur untuk pelabuhan khusus regional;
  3. Bupati/Walikota untuk pelabuhan khusus lokal.
(3) Penetapan pedoman operasional pelabuhan 24 (dua puluh empat) jam sebagaimana dimaksud dalam Ayat (1) diatur dengan Keputusan Menteri.

Pasal 66
Persyaratan penetapan operasional pelabuhan 24 (dua puluh empat) jam   meliputi :
  1. kondisi alur meliputi kedalaman, pasang surut dan sarana bantu navigasi pelayaran;
  2. kesiapan pelayanan pemanduan;
  3. kesiapan fasilitas pelabuhan;
  4. kesiapan gudang di luar pelabuhan;
  5. keamanan dan ketertiban;
  6. kesiapan sumber daya manusia operasional dan tenaga kerja bongkar muat;
  7. kesiapan sarana transportasi darat;
  8. rekomendasi dari pejabat pelaksana fungsi keselamatan pelayaran.

BAB XII
PELABUHAN YANG TERBUKA BAGI
PERDAGANGAN LUAR NEGERI

Pasal 67
(1) Pelabuhan umum dan pelabuhan khusus dapat ditetapkan sebagai pelabuhan yang terbuka bagi perdagangan luar negeri.
(2) Kegiatan pada pelabuhan yang terbuka bagi perdagangan luar negeri meliputi kegiatan lalu lintas kapal, penumpang, barang dan/atau hewan.
(3) Pelabuhan yang terbuka bagi perdagangan luar negeri sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) dapat disinggahi kapal-kapal berbendera Indonesia dan/atau berbendera asing yang berlayar dari dan atau ke luar negeri.

Pasal 68
(1) Penetapan pelabuhan yang terbuka bagi perdagangan luar negeri dilakukan dengan mempertimbangkan:
  1. Tatanan Kepelabuhanan Nasional;
  2. pertumbuhan dan perkembangan ekonomi daerah yang mengakibatkan meningkatnya mobilitas orang, barang dan kendaraan dari dan ke luar negeri;
  3. kepentingan pengembangan kemampuan angkutan laut nasional yaitu dengan meningkatnya kerja sama antara perusahaan pelayaran nasional dengan perusahaan pelayaran asing dalam rangka melayani permintaan angkutan laut dari dan ke luar negeri;
  4. pengembangan ekonomi nasional yang telah meningkatkan peran serta swasta dan masyarakat dalam pembangunan nasional, sehingga menuntut pengembangan pelayanan angkutan laut yang memiliki jangkauan pelayanan yang lebih luas dengan kualitas yang makin baik;
  5. kepentingan nasional lainnya yang mendorong sektor pembangunan lainnya.
(2) Persyaratan penetapan pelabuhan yang terbuka bagi perdagangan luar negeri:
  1. aspek administrasi yang terdiri dari :
1) rekomendasi dari Gubernur, Bupati/Walikota;
2) rekomendasi dari pelaksana fungsi keselamatan pelayaran di pelabuhan.
  1. aspek ekonomi yang terdiri dari:
1) menunjang industri tertentu;
2) arus barang umum minimal 10.000 Ton/tahun;
3) arus barang ekspor minimal 50.000 Ton/tahun.
  1. aspek keselamatan pelayaran yang terdiri dari :
1) kedalaman perairan di muka dermaga minimal - 6 M LWS;
2) luas kolam cukup untuk olah gerak minimal 3 (tiga) buah kapal;
3) sarana bantu navigasi pelayaran;
4) stasiun radio operasi pantai;
5) prasarana, sarana dan sumber daya manusia pandu;
6) kapal patroli.
  1. aspek teknis fasilitas kepelabuhanan terdiri dari:
1) dermaga beton permanen minimal 1 (satu) tambatan;
2) gudang tertutup;
3) peralatan bongkar muat.
4) PMK 1 (satu) unit;
5) fasilitas bunker;
6) fasilitas pencegahan pencemaran.
7) fasilitas kantor dan peralatan penunjang bagi instansi Bea dan Cukai, Imigrasi, dan Karantina.
(3) Dalam hal persyaratan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) telah dipenuhi, Menteri menetapkan pelabuhan yang terbuka untuk perdagangan luar negeri setelah mendapat pertimbangan dari Menteri yang bertanggung jawab di bidang perindustrian dan perdagangan serta Menteri yang bertanggung jawab di bidang keuangan.

BAB XIII
FASILITAS PENAMPUNGAN
LIMBAH DI PELABUHAN

Pasal 69
(1) Pelabuhan umum dan pelabuhan khusus wajib dilengkapi dengan fasilitas penampungan limbah atau bahan lain dari kapal yang menyebabkan pencemaran.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai fasilitas penampungan limbah atau bahan lain sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Keputusan Menteri.

Pasal 70
(1) Penampungan limbah atau bahan lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1), dioperasikan oleh Penyelenggara Pelabuhan umum atau Pengelola Pelabuhan khusus.
(2) Badan Hukum Indonesia dan/atau Warga Negara Indonesia dapat melakukan kegiatan usaha penampungan limbah atau bahan lain dari kapal, dengan persetujuan Penyelenggara Pelabuhan umum atau Pengelola Pelabuhan khusus.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengoperasian fasilitas penampungan limbah atau bahan lain di pelabuhan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Keputusan Menteri.

 BAB XIV
GANTI RUGI

Pasal 71
(1) Setiap orang dan/atau Badan Usaha yang melaksanakan kegiatan di pelabuhan bertanggung jawab untuk mengganti kerugian atas setiap kerusakan pada bangunan dan/atau fasilitas pelabuhan yang diakibatkan oleh kegiatannya.
(2) Ganti rugi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi biaya perbaikan pada bangunan dan/atau fasilitas pelabuhan yang bersangkutan.
(3) Pemilik dan/atau operator kapal yang mengakibatkan kerusakan dan/atau tidak berfungsinya bangunan dan/atau fasilitas pelabuhan umum wajib meninggalkan jaminan untuk pelaksanaan ganti rugi sebelum kapal berlayar.

Pasal 72
Besarnya jaminan ganti rugi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 ayat (3) ditentukan berdasarkan tingkat kerusakan yang ditimbulkan.

Pasal 73
(1) Jaminan ganti rugi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 ayat (3) diserahkan kepada Panitera Pengadilan Negeri tempat domisili pelabuhan.
(2) Panitera Pengadilan Negeri sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) memberikan bukti penitipan jaminan ganti rugi kepada pemberi jaminan dengan tembusan kepada Penyelenggara Pelabuhan umum.
(3) Dalam hal pemberi jaminan telah melaksanakan seluruh kewajib-annya dalam kaitan dengan tanggung jawabnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 ayat (3), jaminan ganti rugi dapat diambil kembali.

Pasal 74
(1) Penyelenggara Pelabuhan umum bertanggung jawab terhadap kerugian pengguna jasa atau pihak ke tiga lainnya karena kesalahan dalam pengoperasian pelabuhan.
(2) Besarnya ganti rugi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditentukan berdasarkan kerugian yang nyata diderita.

BAB XV
KETENTUAN LAIN-LAIN
Pasal 75
Pelabuhan umum yang telah diselenggarakan oleh Badan Usaha Pelabuhan, penyelenggaraannya tetap diselenggarakan oleh Badan Usaha Pelabuhan.

Pasal 76
(1) Pelabuhan regional yang telah diselenggarakan oleh Pemerintah (Unit Pelaksana Teknis/Satuan Kerja Pelabuhan), penyelenggara-annya dilimpahkan kepada Pemerintah Propinsi, sebagai tugas dekonsentrasi.
(2) Pelabuhan lokal yang telah diselenggarakan oleh Pemerintah (Unit Pelaksana Teknis/Satuan Kerja Pelabuhan), penyelenggara-annya diserahkan kepada pemerintah Kabupaten/Kota, sebagai tugas desentralisasi.

Pasal 77
Pelabuhan umum yang penyelenggaraannya oleh Badan Usaha Pelabuhan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75, Pemerintah Propinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 ayat (1), Pemerintah Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 ayat (2), apabila hirarki peran dan fungsinya berubah, tidak mengubah status penyelenggaraannya.

BAB XVI
KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 78
(1) Pelimpahan atau penyerahan penyelenggaraan pelabuhan laut (Unit Pelaksana Teknis/Satuan Kerja) oleh Pemerintah kepada Pemerintah Propinsi atau Pemerintah Kabupaten/Kota disesuaikan dengan hirarki fungsi pelabuhan laut, dapat dimulai pada tahun 2002 sepanjang telah disediakan anggaran dan pernyataan kesanggupan dari Pemerintah Propinsi atau Pemerintah Kabupaten/Kota untuk pengoperasian pelabuhan laut tersebut.
(2) Dengan berlakunya Peraturan Pemerintah ini, semua pelabuhan yang telah ada dan beroperasi, tetap dapat beroperasi, dengan ketentuan selambat-lambatnya dalam jangka waktu 1 (satu) tahun sejak Peraturan Pemerintah ini berlaku, wajib menyesuaikan dengan ketentuan yang diatur dalam Peraturan Pemerintah ini.
(3) Dalam hal ditetapkan daerah lingkungan kerja dan daerah lingkungan kepentingan pelabuhan umum yang menyebabkan perlunya dilakukan penyesuaian status pelabuhan khusus atau fasilitas dermaga yang dibangun dan dioperasikan oleh pihak
(4) ketiga, maka penyesuaian status akan dilaksanakan selambat-lambatnya 1 (satu) tahun sejak ditetapkannya daerah lingkungan kerja dan daerah lingkungan kepentingan pelabuhan umum yang bersangkutan.

BAB XVII
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 79
Dengan berlakunya Peraturan Pemerintah ini, semua peraturan perundang-undangan yang lebih rendah dari Peraturan Pemerintah ini yang mengatur mengenai kepelabuhanan dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan Pemerintah ini.

Pasal 80
Dengan berlakunya Peraturan Pemerintah ini, maka Peraturan Pemerintah Nomor 70 Tahun 1996 tentang Kepelabuhanan (Lembaran Negara Tahun 1996 Nomor 107, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3661), dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 81
Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.


Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 17 Oktober 2001
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd
MEGAWATI SOEKARNOPUTRI
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 17 Oktober 2001
SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA,
ttd
BAMBANG KESOWO

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2001 NOMOR 127

Tidak ada komentar:

Posting Komentar